Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad.
"Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku".
Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas.
Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya."
Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah." (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS Ar-Ra'd [13]: 11).
Dalam ayat lain diungkapkan pula bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS Al-Najm [53]: 39).
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.
Setidaknya ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW.
Pertama, sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
Ketiga, sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap sebelas istri, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan "terpikatnya" konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami.
Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan sang 'Nabi Akhir Zaman' ini?
Pertama, Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya".
Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. "Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya," demikian beliau bersabda.
Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Semoga Allah memampukan kita untuk meneladani etos kerja Rasulullah SAW. Amiin
(source: A. Danial Anwar)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW"
Post a Comment